DHUUUT!
Cerita Pendek Iman Handiman
Pagi yang cerah, hati Achmad Richard Sartana bernyanyi riang. Hari Sabtu, tidak ada agenda kantor, tapi pukul 6 lelaki ini sudah meninggalkan kamar tidur di lantai dua rumahnya dengan pakaian rapi, wangi, dan wajah kelimis. Kakinya yang pendek berlari-lari kecil menuruni tangga yang melingkar ke titik tengah antara dapur dan ruang keluarga. Kemudian menclok di meja makan yang terletak memanjang di belakang sofa besar tempat para penghuni rumah biasa duduk bersama menonton televisi.
Sambil bersiul-siul, Richard memandang makanan dan minuman yang terhidang di atas meja. Ada telor bebek dadar dengan taburan irisan bawang daun dan kulit tomat, menu sarapan favoritnya. Ada omelet dan spageti sebagai menu tambahan. Tak ketinggalan setangkup roti yang sudah dipanggang dengan sisipan salad dan beef yang menggelumbung hingga saosnya meleleh keluar. Lalu juga satu gelas jus jambu merah.
Semua ini Bi Mumun yang menyiapkan. Bi Mumun adalah pembantu setia yang sudah ikut pasangan Richard-Ranie saat setahun pernikahan mereka, persisnya sejak anak pertama mereka lahir 12 tahun lalu. Bi Mumun yang menangani semua pekerjaan rumah tangga dari membersihkan rumah, mencuci pakaian, hingga memasak. Cuma menghidangkan sarapan untuk tuan Richard yang tidak pernah dilakukannya. Itu porsi spesial nyonya besar yang tidak boleh diganggu. Tapi pagi ini Bi Mumun harus mengerjakan semua.
Pagi ini memang lain, pagi hari ini, besok, dan lusa ada pengecualian. Nyonya Richard tidak ada di rumah. Dapur dan ruang keluarga mendadak seperti lengang. Biasanya Richard tiba di meja makan disambut Ranie yang sudah lebih dulu turun ke dapur dan sibuk menghidangkan sarapan. Setelah itu akan disusul tiga anaknya bergabung di meja makan. Kali ini istri dan tiga anaknya tidak hadir melakukan sarapan bersama yang sudah menjadi ritual pagi keluarga.
Tidak ada Ranie yang akan mengajak ngobrol dan menuangkan nasi ke piring Richard. Tidak ada celoteh Messy anak bungsunya yang ribut kalau tanpa sengaja mengunyah cabai atau menyuap sayur yang masih panas. Tidak ada Andri dan Edo kedua kakak Messy yang suka timpal-timpalan kalau membicarakan basket di meja makan. Yang ada hanya Bi Mumun yang kini masih sibuk meletakkan bunga mawar di samping kiri majikan lelakinya, hal yang biasa dilakukan Ranie kalau Richard sudah duduk di kursi meja makan. Tetapi tidak seperti kalau Ranie yang melakukannya, Richard tidak mengacuhkan mawar itu. Ia juga tidak buru-buru meraih sendok dan menyentuh makanan. Ia malah meneguk habis jus jambu merah hingga mengeluarkan bunyi slorooot karena disedot sampai dasar gelas. Kalau sudah begitu berarti selesailah sesi sarapan tuan Richard. Perjamuan pagi yang singkat.
Richard kini sudah beranjak dari meja makan. Melirik Bi Mumun yang mengangguk bingung karena semua makanan yang sudah susah payah disiapkannya tidak disantap, lalu berjalan melewati ruang keluarga dan ruang tamu yang seolah kosong. Kemarin sore Richard mengantar istri dan tiga anaknya ke bandara. Mereka terbang ke Korea Selatan menikmati kado ulang tahun Richard untuk istrinya. Richard sendiri tidak ikut dengan alasan ada agenda penting untuk menggolkan proyek jembatan musi 5. Ia harus bertemu walikota sebelum proyek itu benar-benar aman di tangannya.
“Pergilah bersenang-senang Ma. Maafkan aku tidak bisa menemani,” kata Richard kepada Ranie saat melepas istri dan ketiga anaknya di ruang check in pesawat.
Ranie cemberut karena harus berjauhan dengan suami justru pada momen penting ulang tahunnya. Ia ingin menolak kado ke Korsel dan menggantinya dengan acara lain yang bisa dilakukannya dengan suami. Tapi tiga anaknya telanjur minta izin tidak sekolah hari Senin lusa, mereka juga sudah merancang akan menghabiskan waktu di Lotte World, menyaksikan aksi Super Junior di Seoul, mengunjungi Pulau Nami dan Gunung Sorak tempat syuting drama Korea Winter Sonata dan Endeles Love. Mereka menjadwalkan tiga hari di negeri ginseng itu. Tiket sudah dibeli sekaligus untuk pulang Senin sore.
Pagi ini Richard siap meninggalkan rumah. Di halaman sedan BMW putihnya sudah terparkir menghadap jalan. Dinan, sopir keluarga, sudah berdiri di samping mobil dan segera membukakan pintu belakang, mempersilakan bosnya masuk. Tapi Richard masuk sendiri dari pintu kanan depan.
“Kamu libur aja hari ini, biar aku bawa sendiri,” kata Richard sambil meminta kunci mobil.
Dinan langsung menyerahkan kunci. Ia senang saja karena berarti hari ini dia bisa pulang dan melakukan apa saja dengan istri dan anaknya di rumah. Ia tak merasa perlu untuk bertanya alasan tuannya tidak menggunakannya sebagai sopir hari ini.
Richard lalu melajukan mobil. Saat sudah keluar dari pagar rumah, dia mengangkat HP. “Hai honey, sudah siap sarapan bersama di surga sana?” katanya menyapa seseorang di ujung telepon.
“Ya aku udah nggak sabar menunggu kamu,” suara wanita membalas dengan tawa genit.
Injakan Richard pada pedal gas lebih dalam lagi. Mobil meluncur cepat. Bukan menuju kantor walikota ataupun rumah dinas walikota, melainkan ke luar kota. Rupanya tidak ada agenda pertemuan bisnis menggolkan proyek musi 5. Yang ada adalah bisnis asmara gelap.
Sejurus BMW seri terbaru itu sudah melesat di atas aspal mulus jalan provinsi. Masih sepi karena belum lagi siang, kendaraan yang melintas di jalur itu hanya satu-dua. Richard pun leluasa memacu mobilnya dengan kecepatan maksimal.
Duapuluh kilometer sudah dia meninggalkan Palembang. Sampai kemudian dia merasa mobilnya seperti oleng. Ada yang tidak beres rupanya di bagian belakang. Richard menghentikan mobil dan segera keluar memeriksa roda. Ternyata ban belakang gembos. Ada paku besar menusuk silang dari tengah ke sisi permukaan ban.
Richard tersentak. Ia tidak siap menghadapi kondisi ini. Sekonyong-konyong saja dia menyesal telah membawa sendiri mobil dan tidak membiarkan Dinan menyopirinya seperti biasa. Tadinya dia memilih sendiri dengan maksud supaya leluasa bertemu Lia dan bermesraan seharian di Telukgelam.
Richard lupa bagaimana membuka ban yang gembos karena sudah sangat lama tidak pernah lagi melakukan hal itu. Ia juga tidak hafal bagaimana menurunkan ban cadangan yang tersimpan di bagasi mobil. Pakaian yang dikenakannya juga tidak siap untuk melakukan kerja kasar mengganti ban. Duh seharusnya si Dinan ada di sini dan mengerjakan semua ini, pikirnya.
Sempat terpikir untuk menelepon Dinan, menyuruhnya datang. Tetapi langsung diurungkannya. Itu sama saja dengan menyingkap aib. Dinan pasti bertanya kenapa ada di sini dan bukannya bertemu walikota. Ujung-ujungnya Ranie tahu dan ini artinya kiamat kecil.
Akhirnya Richard memutuskan untuk mengganti ban sendiri. Ia membuka kap bagasi, mencari boks kunci-kunci dan dongkrak. Ketemu, lalu menurunkannya. Ia pun mulai membuka baut-baut roda, melonggarkannya sebelum kemudian mengangkat sasis dengan dongkrak.
Tangan Richard belepotan tanah dan oli yang meleper dari balik velg. Ujung lengan bajunya juga menghitam oleh cipratan oli. Ototnya menegang saat memutar naik roda. Keringat bercucuran di muka dan punggungnya. Berat ternyata mengganti ban. Biasanya dia tak pernah tahu urusan macam ini.
Ban yang gembos sudah dilepas, kini Richard harus menurunkan ban cadangan dari bagasi. Ups, dia menarik ban itu dari kaitannya dengan sekuat tenaga. Nyaris tubuhnya terjengkang karena ternyata ban itu tidak seberat yang dikiranya. Ban itu ringan seperti melayang. Richard memeriksa dengan menginjaknya. Ya ampun ban cadangan itu juga gembos. Mungkin terlalu lama tidak dipakai sehingga anginnya habis terbuang.
Richard mengutuk Dinan karena tidak mengecek ban cadangan. Tapi dia pun sadar sedan BMW ini jarang digunakan. Sehari-hari Dinan diperintah menggunakan BMW jeep untuk alasan praktis karena mobil itu bisa menyimpan banyak barang-barang yang diperlukan untuk pekerjaannya di kantor. BMW hanya digunakan bilamana ada urusan di luar kantor. Kesalahan utama Richard adalah dia menyetir sendiri mobil.
Richard termangu dengan tubuh bermandi keringat. Sekonyong-konyong HPnya berdering. Lia memanggil. “Hey kenapa belum sampai juga, sarapan yang aku siapkan udah dingin nih,” suara itu terdengar oleh Richard seperti menekan dadanya.
“Ban gembos. Cadangannya juga gembos,” dia menjawab lesu.
“Tinggalkan aja mobilnya sayang. Pakai taksi,” kata Lia tak sabar.
“Ini di luar kota, nggak ada taksi.”
“Naik apa aja. Bis kan ada.”
“Ya ya ya.”
Richard menyimpan lagi ban cadangan ke bagasi. Roda ban belakang yang sudah terangkat dibiarkannya. Ia pikir itu akan mengamankan mobil dari kemungkinan dicuri orang. Setelah semua pintu dikunci, dia lari ke jalan. Sebuah bis meluncur dari arah Palembang, menuju Kayuagung. Ia cegat.
Richard langsung naik ketika bis itu membuka pintu. Ia tak tahu di dalam penumpang sangat penuh sampai beberapa orang berdiri. Apa boleh buat dia pun terpaksa berdiri di antara ketiak dan peluh serta pikulan dan berbagai barang milik penumpang lain.
Mobil bergerak, sentakan gasnya begitu keras. Semua penumpang yang berdiri bergoyang. Richard pun hampir terpelanting. Perutnya seketika bagai dikocok. Mual dan mulas. Sesiang ini dia belum sarapan. Perutnya baru diisi segelas jus jambu merah. Dan manisnya jus sekarang seperti memutar-mutar usus dan menarik angin masuk ke dalamnya.
Mobil melaju dengan sentakan gas yang masih juga kasar. Penumpang bergoyang dan sebagian berbenturan ketika bis meliuk di belokan tajam. Richard meringis menahan perutnya yang melilit sakit luar biasa seperti dipelintir. Ia kehilangan keseimbangan. Tubuhnya terjerembab, dan jatuh pingsan.
Entah berapa lama Richard tidak sadarkan diri, sampai kemudian samar-samar dia melihat Bi Mumun dan Dinan tengah berdiri di samping tempatnya berbaring. “Oh Pak Richard sudah siuman,” terdengar suara perempuan dari arah lain. Richard hafal, itu suara Lia. “Pa… Pa… syukurlah sudah sadar,” terdengar suara yang lain, dan itu.., bukankah itu suara Ranie, istrinya. Richard memejamkan matanya lagi. Ia meringis, perutnya melilit sakit, dan seketika ada angin yang mendesak keluar dari lubang pelepasan menimbulkan bunyi nyaring: Dhuuuuuuttt!!!